KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN SEBAGAI STRATEGI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Oleh Rio Jenerio.,S.H. | 30-12-2021
Provinsi Kalimantan Tengah yang beribukota di Kota Palangkaraya memiliki luas daratan 157.983 kilometer persegi, dengan rentang garis pantai 750 kilometer. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2006 jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Tengah adalah 2.004.110 jiwa. Secara administratif Provinsi Kalimantan Tengah terdiri atas 13 kabupaten dan satu kota, yang mencakup 88 kecamatan. Sebagian besar wilayahnya merupakan dataran rendah, ketinggian berkisar 0 hingga 150 mdpl. Kecuali sebagian kecil di wilayah utara merupakan daerah perbukitan yang terbentang pegunungan Muller dan Schwaner dengan puncak tertingginya (bukit Raya) mencapai 2.278 mdpl. Bagian Utara provinsi terdiri atas Pegunungan Muller Swachner dan daerah perbukitan, bagian Selatan dataran rendah, rawa, paya-paya. Provinsi Kalimantan Tengah berbatasan dengan tiga Provinsi Indonesia yaitu Kalimantan Timur, Selatan dan Barat serta Laut Jawa. Provinsi Kalimantan Tengah memiliki iklim tropis lembab dan wilayahnya dilintasi garis Kathulistiwa.
Sekitar 80 persen wilayah Provinsi Kalimantan Tengah didominasi kawasan hutan. Hutan primer tersisa sekitar 25 persen dari luas wilayah. Kurang lebih sejak tahun 2007 lahan di Provinsi Kalimantan Tengah mulai didominasi kebun kelapa sawit dengan luas mencapai 700.000 hektar. Perkebunan karet dan rotan rakyat masih tersebar hampir diseluruh daerah, terutama di Kabupaten-kabupaten Kapuas, Katingan, Pulang Pisau, Gunung Mas dan Kotawaringin Timur. Sementara potensi sumber energi dan sumber daya alam mineral yang sudah diusahakan meliputi batubara, emas, zirkon, besi, tembaga, kaolin, batu permata dan lain-lain. Melihat dari keadaan alam Provinsi Kalimantan Tengah tersebut, maka tidak heran apabila Provinsi Kalimantan Tengah sekarang menjadi pusat lirikan bagi investor-investor bidang usaha perkebunan dan pertambangan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa keadaan alam Kalimantan Tengah sangat menjanjikan untuk perkembangan 2 (dua) bidang usaha ini. Hal ini dapat terlihat jelas begitu pesatnya pertumbuhan Perusahaan Perkebunan Besar Swasta (PBS) baik dari jumlah perusahaannya, maupun dilihat dari luasan suatu kebun kelapa sawit milik satu Perusahaan PBS. Hal yang sama juga terjadi dibidang pertambangan.
Salah satu regulasi yang memberikan angin segar bagi masyarakat yang berada sekitar wilayah perkebunan Kelapa sawit, baik yang diusahakan swasta maupun perusahaan BUMN, adalah regulasi tentang kewajiban sebuah perusahaan untuk melakukan kerjasama dengan masyarakat sekitar perkebunan.
Beleid itu terangkum dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 26 tahun 2007 dan diperbaharui menjadi Peraturan Menteri Pertanian No. 98 tahun 2013, yang menekankan bahwa sejak bulan Februari 2007 apabila terjadi pembangunan perkebunan kelapa sawit, perusahaan inti wajib untuk memfasilitasi kebun masyarakat di sekitarnya, dimana areal lahan diperoleh dari 20% ijin lokasi perusahaan atau membangun kebun dari lahan masyarakat yang ada disekitarnya. Hal yang serupa juga bahkan muncul kembali di Peraturan Pemerintah pelaksana UU tentang Cipta Kerja.
Pemerintah juga telah mencantumkan ketentuan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) dalam UU Perkebunan No. 39 tahun 2014, yang mewajibkan perusahaan mengikuti standar pembangunan kebun kelapa sawit yang berkelanjutan dengan mengikuti ketentuan peraturan dan perundang-undangan di Indonesia, yakni perusahaan perkebunan wajib memperhatikan faktor sosial, ekonomi , dan lingkungan dimana salah satunya membangun perekonomian dan kesejahteraan masyarakat dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit yang kepemilikan lahannya oleh masyarakat.
Berdasarkan Permentan No. 98 Tahun 2013, pada pasal 11, ayat (2) dinyatakan bahwa “Pembangunan Kebun untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan antara lain melalui pola kredit, hibah atau bagi hasil.
Umumnya pola kerjasama yang saat ini, umumnya yang berjalan adalah pola kredit, yang sekarang dikenal dengan nama KKPA (Kredit koperasi Primer untuk Anggota), pola ini merupakan penyempurnaan dari pola sebelumnya berupa pola PIR (Pekebun/petani Inti Rakyat).
Pada dasarnya tujuan dari regulasi ini tentunya adalah agar masyarakat disekitar wilayah perkebunan dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan mereka. Namun akibat kurang jelasnya regulasi tersebut, menimbulkan permasalahan dilapangan. Penafsiran berbeda terhadap peraturan perundangan-undangan, ketidakjelasan kapan pembangunan kebun plasma yang 20% diwajibkan, bagaimana pola kemitraan yang tepat, dan lain sebagainya. Hal ini yang akhirnya dapat memicu konflik antara masyarakat sekitar dengan perusahaan. Angan-angan yang tadinya adalah meningkatnya taraf hidup, menjadi buyar bahkan cenderung menjadi masalah baru.
Untuk itulah sebagai salah satu strategi peningkatan kesejahteraan masyarakat, tentunya Pemerintah Daerah terpanggil untuk ikut terlibat mewujudkan tujuan dari program kemitraan perkebunan tersebut. Sebagai pembuat kebijakan didaerah, maka keterlibatan Pemerintah Daerah dapat dilaksanakan dengan membuat kebijakan yang dituangkan dalam Produk Hukum Daerah sehingga dapat menjadi Payung Hukum dalam pelaksanaan Kemitraan Perkebunan di daerah.
Di tulis di Info Terkini terupdate pada 30-12-2021